Music / Portfolio / Published Articles · August 13, 2019 0

Serunya Bincang Industri Musik di Archipelago & Synchronize Fest

[Artikel yang saya tulis ini pertama kali diterbitkan pada 13 Agustus 2019 di website BeritaBaik.id: https://beritabaik.id/read?editorialSlug=musik&slug=1565752360691-serunya-bincang-industri-musik-di-archipelago-and-synchronize-fest]

Yogyakarta – Archipelago Festival kini telah memasuki tahun ketiganya. Selama ini Archipelago Festival berkonsep sebagai music conference yang menjadi wadah untuk saling bertukar pikiran tentang musik dan topik-topik penting di sekitarnya, serta menjadi panggung bagi para emerging talents dalam negeri untuk menunjukkan skill mereka.

Sedangkan Synchronize Festival merupakan festival musik multi-genre tahunan berskala nasional yang mengundang puluhan ribu audience untuk merayakan keberagaman jenis musik hidup di lima panggung selama tiga hari, tiga malam, menikmati suguhan 100-an pertunjukan terkurasi dari artis-artis terfavorit dan terbaik tanah air yang datang dari dekade 70-an, 80-an, 90-an hingga 2000-an.

Menyambut perhelatan Synchronize Festival yang akan diselenggarakan pada tanggal 4-6 Oktober 2019 dan Archipelago Festival yang rencananya akan digelar seminggu setelah Synchronize Festival, team kedua festival tersebut kemudian bekerja sama dan mengadakan pre-event roadshow di beberapa kota di Indonesia. Belum lama ini, Jogja terpilih menjadi salah satu tempat pemberhentian dalam rangkaian pre-event roadshow tersebut, di antaranya sebuah diskusi panel atau talkshow yang bertema tentang ‘Jejaring: Terhubung dan Terdukung’.

Talkshow yang berlangsung di Platinum Kitchen, Bar & Lounge, Yogyakarta tersebut menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu Iga Massardi (vokalis merangkap gitaris dari band Barasuara), Riri Cholid (BELIEVE Artist Services & Development, Project Manager for Indonesia), Kill The DJ (Founder of Jogja Hiphop Foundation, Libertaria Music, Anarkisari), dan satu orang moderator yang dipegang oleh Felix Dass.

Tema ‘Jejaring: Terhubung dan Terdukung’ membahas pentingnya berjejaring untuk menciptakan peluang-peluang baru menembus industri musik, yang terdiri dari networking event, listening session dan speed dating. Hasil diskusi panel tersebut diharapkan dapat membantu para pegiat musik dari latar belakang apapun untuk bisa terhubung lebih cepat dengan pihak-pihak dan stakeholder musik di Indonesia. Ketiga pembicara yang terlibat mempunyai latar belakang yang berbeda dan sudut pandang masing-masing mengenai tema yang diangkat.

Iga Massardi lebih fokus membahas jejaring yang bersifat teknis yang berhubungan langsung antara pelaku musik dengan karyanya dan panggung. Seperti dalam kasus karir awal Barasuara bermusik, ternyata ada proses panjang dalam menyiapkan materi yang mereka lalui terlebih dahulu sebelum melempar karyanya ke publik atau bekerjasama dengan pihak-pihak luar.

“Kalau saya sih sekarang lagi membenahi apa yang perlu dibenahi dari dalam. Kalau tiba-tiba keluar tapi kita enggak punya bobot atau materi ya sama aja bohong. Yang perlu dilakukan sekarang, kita kumpulin aja dulu pelurunya, dari segi apapun, segi materi promosi, marketing gimmicks. Baru dari situ kita bisa lihat respons setelah kita keluarin ke publik. Materi sudah ada, baru kita bisa tahu ini bisa di-tangled upsama pihak A, B atau C. Kalo materi sudah ada, kita baru bisa kebayang kerja sama dengan siapa,” papar Iga saat ditanya oleh Felix Dass mengenai network dari angle pelaku musisinya, seperti apa jaringan-jaringan yang masih dicari, perlu dieksplor dan diaplikasikan.

Kill The DJ cenderung memberi gambaran tentang jejaring yang berhubungan dengan kondisi skena musik di Jogja. Mengenai apa yang membuat Jogja mempunyai ciri khas, Kill The DJ bertutur, “Jogja itu secara fisik dan material tidak menuntut. Situasi dan kondisi skena permusikan di Jogja itu tidak ada batasan antara senior-junior, pendatang baru atau pemain lama, dan lintas disiplin lainnya”.

Ia juga berkisah tentang pengalamannya sebagai founder dari JHF (Jogja Hiphop Foundation). Sejak awal berkarir, ia sudah mandiri alias independen dalam segala hal, hingga seiring waktu usahanya berbuah manis pada akhirnya. Nama JHF menjadi besar, tidak hanya tersohor di Jogja dan dalam negeri saja, namun sampai ke luar negeri. “Dari pertama, ketika enggak punya media, saya bikin media sendiri. Ketika enggak punya pasar, saya menciptakan pasar sendiri,” kenang Kill The DJ.

Sedangkan Riri Cholid lebih bercerita mengenai pengalamannya sebagai project manager Indonesia dari BELIEVE Artist Services & Development yang tentunya berperan besar dalam hal jejaring musik digital. Sedikit gambaran tentang BELIEVE distribution serviceyaitu sebuah perusahaan distributor musik digital pertama di dunia yang mendukung pelaku musik. Di Indonesia sendiri, BELIEVE sudah berjalan selama 6 tahun. Klien mereka yaitu musisi-musisi dan label rekaman yang ada di Indonesia. Riri memberi gambaran tentang bagaimana kondisi musik di Indonesia saat ini, “Secara global saya melihat kondisinya sangat dinamis, terbukti dari persaingan yang sangat padat, rilisan-rilisan dari musikus Indonesia semakin intens jaraknya, dan semakin berapi-api juga dalam memasarkan musiknya”.

Saat sesi tanya jawab dipersilakan, ada salah satu peserta talkshow yang bertanya kepada Riri tentang bagaimana peluang dan kiat-kiat yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh sebuah band baru agar dapat terkurasi oleh BELIEVE distribution service. Riri menjawab bahwa band baru atau band lama yang sudah mempunyai nama besar tetap diperlakukan sama oleh BELIEVE dan mempunyai peluang yang sama. Pembedanya yaitu bagaimana kesiapan konten dari si pembuat karya atau pelaku musik tersebut, karena hal-hal yang lebih dipentingkan oleh tim BELIEVE antara lain yang pertama adalah kualitas musiknya, kemudian konten-konten pendukung lain yang bisa diproduksi dan disiapkan, contohnya video musik atau video lirik, poster atau teaser, dan lain-lain. Mereka akan melihat dan menilai musisi mana yang mempunyai kesiapan konten yang lebih menarik dan lebih lengkap.

Secara keseluruhan, antusiasme dari para pembicara dan peserta diskusi panel tersebut sangat tinggi dan diskusi berlangsung seru, serta topik-topik yang diangkat tentunya dapat bermanfaat dan diaplikasikan bagi semua pihak-pihak yang berhubungan dan bersinggungan dengan industri musik di Indonesia. Talkshow ditutup dengan foto bersama dan pemberian plakat kenang-kenangan dari tim penyelenggara acara kepada para pembicara.