[Artikel yang saya tulis ini pertama kali diterbitkan pada 1 September 2019 di website BeritaBaik.id: https://beritabaik.id/read?editorialSlug=sosok-inspiratif&slug=1567313365100-cerita-triaman-bangkitkan-geliat-rilisan-fisik-di-yogyakarta]
Yogyakarta – Di era serba teknologi seperti saat ini, rasanya banyak orang yang menganggap bahwa medium rilisan fisik sudah tak dapat bertahan lagi di tengah derasnya arus platform musik digital. Tidak bisa dipungkiri, adanya platform tersebut memang memberikan segala kemudahan untuk mendengarkan musik hanya dengan satu sentuhan.
Namun, anggapan tersebut ternyata tidak berlaku bagi Triaman. Lelaki asal Yogyakarta yang akrab dipanggil Sambrenk ini merupakan pemilik Toko Musik Luwes, toko rilisan fisik yang sekaligus berfungsi sebagai Demajors Jogja dan salah satu pemrakarsa Jogja Record Store Club, sebuah jaringan atau kolektif pelapak musik.
Saat BeritaBaik berkunjung ke Toko Musik Luwes dan mendapat kesempatan untuk bercengkrama lebih dalam dengan Sambrenk, ia lebih banyak mengenang tentang kisah perjalanan hidupnya saat masih muda alias jauh sebelum toko ini berdiri, hingga akhirnya dapat membangun usaha seperti ini.
Sambrenk bercerita bahwa ketertarikannya pada musik sudah terasa sejak ia kecil. Ia mulai suka mengumpulkan dan mengoleksi kaset-kaset pita sejak zaman SMA, sekitar awal tahun 2000-an. Berawal dari kebiasaannya mendengarkan radio, ia kemudian jatuh cinta kepada musik hip-hop, hingga tertarik ingin mempunyai rilisan fisiknya. Kala itu, rilisan fisik yang banyak beredar di Indonesia adalah format kaset pita. “Kaset pertama yang saya beli dan koleksi itu kasetnya G-Tribe,” kenangnya.
G-Tribe adalah sekelompok penyanyi asal Jogja yang mengusung rap Jawa, sekaligus kelompok rap pertama di Jogja yang mengeluarkan rilisan fisik.
Sambrenk pun turut berkarier dan aktif di skena musik hip-hop loh, TemanBaik. Ia mempunyai proyek solo bernama PsychotRAPhy, yang ia bentuk sejak tahun 2005 hingga saat ini. Selain itu, ia juga sempat mendirikan kelompok Jogja Kembali Hip Hop Crew (JKH2C) yang beranggotakan 9-10 orang, hanya saja aktif dari tahun 2008 hingga 2012-an.
Karier bermusik di JKH2C perlahan terhenti karena kesibukan masing-masing anggotanya, termasuk Sambrenk sendiri yang pada pertengahan tahun 2012 harus menjaga toko rilisan fisik Demajors Jogja sekaligus menjadi admin JNM Art Shop, setelah menyanggupi tawaran kerja dari temannya. Kala itu, toko Demajors Jogja masih bertempat di belakang gedung Jogja National Museum (JNM).
Ia mengaku merasakan dampak positif semenjak melakoni profesi sebagai penjaga toko Demajors Jogja yaitu wawasan musiknya semakin bertambah jauh lebih luas, tidak melulu tentang hiphop atau metal yang lekat dengan masa mudanya.
“Setelah jaga toko Demajors Jogja, saya mencoba untuk mendengarkan semua jenis musik karya musisi atau band yang dijual di situ. Yang tadinya cuma suka mendengarkan musik hiphop aja, akhirnya sekarang berubah dengerinnya enggak cuma hiphop aja,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa selera musiknya terasa berubah seiring bertambahnya usia. Ia kini cenderung mendengarkan musik yang terdengar lebih santai, tidak sekeras dulu.
Memasuki akhir tahun 2017, saat toko Demajors Jogja yang bertempat di JNM dirasa sudah tidak kondusif untuk diteruskan lagi, Sambrenk pun berinisiatif ingin membuka toko rilisan fisik sendiri. Ia kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada pihak Demajors pusat untuk membuka toko dengan nama buatannya sendiri. Setelah diizinkan, ia pun resmi mendirikan Toko Musik Luwes yang terletak di belakang rumahnya sendiri.
“Dulu sempet pengen bikin nama pake bahasa Inggris atau apa gitu, tapi kok engga cocok. Nyari-nyari, terus coba lihat kamus Jawa, dan nemu kata “luwes” itu artinya fleksibel. Akhirnya ya pake nama Toko Musik Luwes yang artinya fleksibel, sesuai dengan barang yang dijual bermacam-macam, enggak hanya rilisan dari label Demajors aja, harganya juga bervariasi dan bisa diatur. Kebetulan juga karena bertempat di Jogja, jadi ambil filosofi Jawa,” bebernya panjang lebar.
Oleh karena itu, Toko Musik Luwes yang sekaligus berfungsi sebagai Demajors Jogja ini pun terlihat berbeda jika dibandingkan dengan cabang Demajors di kota-kota lain, karena rilisan atau karya dari musisi/band lain di luar label Demajors juga bisa TemanBaik temukan di sini.
Jadi Toko Rilisan Fisik Segala Ada
Toko Musik Luwes menjual berbagai rilisan fisik dalam format kaset pita, CD, dan piringan hitam atau vinyl, baik dalam kondisi baru atau segel maupun bekas. Range harga kaset dimulai dari Rp 10 ribu hingga Rp 300 ribu, untuk CD dijual mulai dari Rp 25 ribu hingga Rp 500 ribu, dan vinyl atau piringan hitam fibanderol mulai dari Rp 50 ribu hingga jutaan rupiah. Contoh piringan hitam yang dapat menembus harga jutaan rupiah, di antaranya album ‘Ghede Chokra’s’ dari Shark Move dan album-album karya SORE.
Toko yang beralamat di Jalan Krapyak Wetan RT 11 No.385, Krapyak Wetan, Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, Yogyakarta ini buka dari jam 13.00-22.00 WIB. Toko Musik Luwes ini enggak hanya menjual rilisan fisik saja loh TemanBaik, tetapi juga menjual buku-buku yang sebagian besar berhubungan dengan musik, peralatan untuk perawatan rilisan fisik, serta beberapa merchandise seperti t-shirt, totebag, dan sebagainya. Semua barang yang dijual di sini enggak hanya dapat dibeli secara offline saja, namun Toko Musik Luwes juga melayani pembelian dengan pesanan via online seperti melalui DM instagram dan Tokopedia.
Mengenai tempat-tempat di mana ia kulakan barang-barang jualannya, Sambrenk berkata bahwa sebagian besar diperolehnya melalui kulakan di Jakarta, seperti membeli lewat label-label rekaman, atau mengambil dari toko teman-teman yang jualan di Blok M. Untuk kota-kota lainnya, ia mengambil di Bandung, Surabaya, dan tentunya Jogja sendiri, khususnya untuk rilisan-rilisan fisik bekas.
Sambrenk juga menunjukkan kepada BeritaBaik tentang beberapa rilisan fisik yang termasuk menjadi “Best Seller” atau “yang sedang banyak dicari” di Toko Musik Luwes saat ini. Album-album tersebut adalah ‘Lintasan Waktu’ dari Danilla, ‘Sekilas Info’ dari Jason Ranti, ‘Agterplaas’ dari The Adams, dan ‘Dua Buku’ dari Pusakata.
Selanjutnya, Sambrenk sempat berpendapat mengenai antusiasme pembeli yang ia rasakan selama menjalani profesinya. Kalau dari tahun ke tahun, antusias pembeli naik turun sih, tapi saya lihat makin ke sini malah naik terus loh. Selain pelanggan lama yang emang biasanya sebulan sekali beli kaset di sini, ternyata anak-anak muda atau pembeli baru juga makin bertambah. Pembeli enggak cuma orang tua aja yang sukanya cari album-album Indonesia lawas, tapi sekarang sebagian besar pembeli malah masih berstatus mahasiswa, bahkan anak-anak SMA,” bebernya.
Ia merasa senang dapat merasakan langsung dan menjadi saksi bagaimana geliat dan kesadaran akan apresiasi rilisan fisik dalam menikmati musik yang sempat tampak lesu dalam kurun waktu 10 tahun ini, akhirnya terasa bangkit kembali, bahkan di kalangan anak muda masa kini.
Di penghujung obrolan kami, Sambrenk menungkapkan harapannya akan kemajuan bidang yang ia geluti selama ini. “Saya harap antusiasme pembeli rilisan fisik semakin ke sini bisa semakin meningkat lagi, karena dengan banyaknya penikmat musik yang membeli rilisan fisik itu juga bisa membantu menghidupi para musisi biar bisa tetep berkarya terus. Kita harus support musisi yang mengeluarkan rilisan,” ujarnya lirih.
Foto: Hanni Prameswari E.