Inspiring People / Music / Portfolio / Published Articles · September 8, 2019 0

Cerita Djaduk Ferianto, Sosok di Balik Ide ‘Ngayogjazz’

[Artikel yang saya tulis ini pertama kali diterbitkan pada 8 September 2019 di website BeritaBaik.id: https://beritabaik.id/read?editorialSlug=indonesia-baik&slug=1567962232243-cerita-djaduk-ferianto-sosok-di-balik-ide-ngayogjazz]

Yogyakarta – SEAMEX (South East Music Education Exchange) kembali digelar untuk yang ketiga kalinya. Kali ini, giliran Indonesia yang dipercaya untuk menjadi tuan rumah, tepatnya Daerah Istimewa Yogyakarta.

Acara tahunan yang menjadi ruang temu pemain, produser, pendidik musik di kawasan Asia Tenggara ini berlangsung selama tiga hari pada 6-8 September 2019 dan bertempat di Jogja National Museum yang beralamat di Jalan Prof. Ki Amri Yahya No.1, Pakuncen, Wirobrajan, Yogyakarta.

Di antara sekian banyak kegiatan atau agenda yang dihelat SEAMEX 2019, salah satu agenda yang menarik untuk disimak yaitu ‘Music Talk’ atau talkshow dengan menghadirkan narasumber profesional yang membahas tentang produksi musik, manajemen musik, hingga strategi pasar di ranah industri era globalisasi.

Di hari kedua SEAMEX 2019, BeritaBaik berkesempatan mengikuti ‘Music Talk’ yang menghadirkan seniman Djaduk Ferianto dan Ajie Wartono dari WartaJazz sebagai narasumber yang berbagi pengalaman serta strategi dalam ‘Music Festival Production’. Khususnya festival musik jazz tahunan bertajuk ‘Ngayogjazz’ yang dihelat di Yogyakarta sejak tahun 2007 hingga kini, selalu gratis, dan selalu memilih venue di sebuah perkampungan atau pedesaan.

Dalam talkshow ini Djaduk pun bercerita tentang sejarah awal Ngayogjazz. “Bermula dari kegelisahan tentang seni pada umumnya, ketika jazz di Indonesia selalu dianggap sebagai musik mahal, elitis dan selalu main di tempat-tempat yang mungkin dari aspek ekonominya mahal. Jogja juga sebagai satu kota yang melahirkan banyak seniman. Kemudian, siapa sih yang akan mem-backup atau menjadi bagian dari perjalanan karya seni itu? Tentunya adalah publik atau masyarakat,” ujar Djaduk.

Djaduk dan timnya pun berinisiatif membuat Ngayogjazz sebagai festival jazz yang orientasinya tidak komersil, free entry, dan dapat menjadi ruang ekspresi bagi para pemusik jazz yang ada di Indonesia, terutama anak muda. “Satu yang paling penting, kelompok anak muda bisa lahir, regenerasi bisa muncul di Ngayogjazz, karena kadang-kadang mereka tidak bisa muncul di event-event jazz lain yang berbayar, makanya kami menyediakan ruang untuk itu. Ngayogjazz melahirkan musisi-musisi baru yang kemudian dapat menempati posisi penting di ranah nasional,” ujarnya.

Mengenai mengapa Ngayogjazz lebih memilih perkampungan atau pedesaan sebagai venue, Djaduk berujar bahwa sejak awal mereka juga ingin mendekatkan sebuah produk seni kepada masyarakat, dan masyarakat juga akan mendukung produk seni tersebut, sekaligus di dalamnya terdapat nilai-nilai lain, seperti edukasi, apresiasi, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, venue Ngayogjazz selalu berpindah tempat di desa atau dusun dari tahun ke tahun, dan ternyata proses untuk mendapatkan venue tersebut tidak semudah seperti mencari tempat untuk festival-festival pada umumnya.

“Kami survei mencari desa mana yang akan kita pakai. Pertama, kita melihat masyarakatnya dulu, welcome atau tidak. Kita benar-benar harus memilih bagaimana karakter dari masyarakat desa. Kami belajar dengan pemilik venue, kalo nyaman, baru kita melihat venue itu ada ruang-ruang terbuka atau tidak. Karena perjalanan Ngayogjazz dari tahun ke tahun semakin hari semakin meningkat, jadi ya harus ada tempat parkir. Kemudian ketika kita mencari tempat dan venue, tentunya kami juga belajar tentang apa yang menarik dari desa itu,” ungkap Djaduk.

Ajie Wartono memberi sedikit gambaran mengapa mereka memilih musik jazz untuk pijakan sebagai Ngayogjazz. “Kita sepakat bahwa Ngayogjazz adalah sebuah peristiwa seni secara keseluruhan. Jazz ini musik yang mudah melebur dan musik yang mudah bergaul dengan musik lain. Jazz lebih terbuka dan lebih eksploratif. Bagaimana jazz melebur, kemudian memunculkan hal-hal yang baru dari situ, fleksibilitas jazz diuji. Ngayogjazz adalah sebuah festival jazz dengan spirit pergaulan dengan musik-musik lain, menciptakan hal-hal yang baru di situ. Itulah kenapa kita memilih jazz sebagai pijakan dari festival ini. Kadang-kadang musisi juga bereksperimen. Eksperimentasi-eksperimentasi inilah yang memunculkan hal-hal baru yang tidak akan ditemukan dalam festival lain,” tuturnya.

Menurut Ajie, pengadaan Pasar Jazz dalam Ngayogjazz juga dapat menjadi elemen penunjang ekonomi bagi masyarakat desa pemilik venue tersebut. Ngayogjazz dapat menjadi kesempatan untuk menghidupkan ekonomi dan meningkatkan pendapatan masyarakat desa karena dapat menarik banyak pengunjung untuk membeli segala sesuatu yang dijual di Pasar Jazz.

“Pasar Jazz bagaimana kita mempertemukan antara potensi-potensi desa dengan pengunjung, sehingga kemudian menjadi pendukung. Ada kuliner, kerajinan dan masih banyak lagi yang dipamerkan dalam Pasar Jazz,” jelasnya.

Jadi, hal-hal seperti orientasi non komersil dan pemilihan tempat di perkampungan atau pedesaan itulah yang kemudian menjadi warna pembeda utama antara Ngayogjazz dengan festival-festival jazz lainnya yang ada di Indonesia.

Djaduk juga sempat kilas balik penyelenggaraan Ngayogjazz untuk pertama kalinya pada tahun 2007. “Pada tahun 2007 lahirlah Ngayogjazz pertama dengan format yang kecil, ada 3 panggung di Padepokan Bagong dengan dana yang tidak masuk akal, tetapi bisa mendapatkan beberapa penampil dan kru, baik dari Jogja maupun luar Jogja,” kenangnya.

Djaduk juga menerangkan bagaimana Ngayogjazz membantu para musisi jazz muda untuk menemukan identitas dirinya dengan membuat karya sendiri, bukan hanya sebagai peniru, karena selama ini baik di Indonesia maupun di luar negeri masih banyak musisi jazz yang merasa bangga akan dirinya walaupun hanya meniru atau memainkan karya-karya dari orang lain.

“Kami membangun relasi dengan Komunitas Jazz Jogja atau JazzMbenSenen. Setiap mau Ngayogjazz, kita semangati mereka untuk membuat album atau karya sendiri, terus nanti album itu dilaunching di Ngayogjazz. Itu salah satu hal untuk menemukan identitas,” pungkas Djaduk.

Sebagai tambahan informasi, Ngayogjazz tahun ini rencananya akan diadakan pada 16 November 2019 di Padukuhan Kwagon, Sidorejo, Godean, Sleman, Yogyakarta, loh. Jangan lupa catat tanggalnya dan pantau terus akun instagram @ngayogjazz yah, TemanBaik!

Foto: Hanni Prameswari