Jatuh Bangun Aditya Kurniawan Merintis Emobi Studios

[Artikel yang saya tulis ini pertama kali diterbitkan pada 5 Oktober 2019 di website BeritaBaik.id: https://beritabaik.id/read?editorialSlug=sosok-inspiratif&slug=1570246407953-jatuh-bangun-aditya-kurniawan-merintis-emobi-studios]

Sosok inspiratif kali ini datang dari seseorang yang menggeluti dunia audio yaitu Aditya Kurniawan yang akrab dipanggil dengan Adit. Pria kelahiran Pemalang, 4 September 1989 ini adalah seorang pemilik dari Emobi Studios (Audio Post & Music Production) yang beralamat di Gang Sengon No. 24 B, Gowok, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta.

Emobi Studios yang didirikan oleh Adit sejak tahun 2012 ini menawarkan berbagai macam jasa yang berhubungan dengan audio, mulai dari jasa audio production seperti editing, mixing, mastering, audio restoration, audio post-production, sound design, dan sound effects, kemudian jasa ‘music production’ untuk jingle, iklan, film scoring, soundtrack, hingga jasa ‘voice over’ atau alih bahasa untuk kebutuhan iklan, e-learningaudio book, video Youtube, company profile, dan masih banyak lagi.

Saat diwawancarai BeritaBaik, Adit mengawali ceritanya dengan mundur ke masa-masa saat ia masih kuliah, mengenang memori-memori yang menjadi cikal bakal dari Emobi Studios.

“Awalnya dari kemepetan dana, kan dulu sempat punya band, band-nya udah punya karya, terus pengen direkam dan punya album. Tapi, mengingat para mahasiswa dengan keterbatasan isi dompetnya, akhirnya nggak jadi produksi di studio. Dari keterbatasan itu, akhirnya aku terpikir, gimana caranya rekaman lebih murah daripada harus ke studio,” tuturnya.

Adit juga mengungkapkan alasan lain yang membuatnya semakin tertarik dan serius mempelajari audio productionsekitar tahun 2010.

“Karena kejenuhan kuliah yang enggak selesai-selesai dan nyaris pindah kuliah. Bahkan, aku sempat nekat coba apply ke kampus lain di Jakarta, tapi ternyata enggak keterima. Akhirnya ya balik lagi ke Jogja buat nerusin skripsi. Nah, di jeda antara kebosananku dan pengin pindah kuliah itu aku mulai belajar audio. Belajarnya otodidak, tanya-tanya teman, ikut forum-forum, baca-baca buku, sama nonton tutorial-tutorial di YouTube,” ungkapnya.

Memasuki tahun 2011, Adit mulai berusaha mengumpulkan alat-alat sederhana untuk keperluan rekaman secara mandiri dengan segala keterbatasan kala itu.

“Dari situ, aku mulai ngumpul-ngumpulin alat, mulai dari audio interface, headphone, speaker, microphone. Tapi itu nyicil sih, belinya satu-satu. Ngambil dari tabungan, terus dari hasil jual gitar keduaku juga, buat beli alat tambahan,” kenangnya.

Setelah berhasil memproduksi musik-musik karya bandnya dengan sentuhan audio dari tangannya sendiri, Adit kemudian menyadari bahwa ternyata hal tersebut bisa dijadikan profit. “Klien pertamaku ya teman-temanku sendiri, teman-teman UKM Musik SICMA UNY. Kalau ada teman yang pengen rekaman, aku tawarin. Yuk, coba rekaman di tempatku, harganya ekonomis loh,” katanya sambil tertawa.

Adit mengaku jika ada klien band yang ingin recording menggunakan jasanya pada saat awal merintis usahanya tersebut, ia masih sering pinjam-meminjam alat, seperti bass dan gitar dari pihak lain, bahkan PC komputer pun hasil pinjaman dari uang kas band. “Aku berhenti pinjam-pinjam, dalam artian udah bisa beli sendiri semua alat-alat dan mulai siap produksi itu sekitar tahun 2014/2015,” akunya.

Saat ditanya mengenai makna di balik nama Emobi Studios, Adit mengatakan bahwa Emobi adalah singkatan dari kata easy dan mobile. “Mobile karena pindah-pindah tempatnya. Dulu, niat awalnya mau bikin konsep studio yang mobile, yang rekaman enggak harus ke studio, melainkan aku yang mendatangi. Tapi, ternyata ke sini-sini berjalannya tidak seperti itu. Tapi, berhubung namanya udah melekat, yaudah jalan aja. Terus, easy maksudnya tuh fleksibel, syukur-syukur rezekinya dimudahkan,” katanya.

Ketika Emobi mulai dikomersilkan pada rentang tahun 2012-2015, Adit menjelaskan bahwa fokus dan konsentrasi Emobi lebih ke produksi musik band atau musisi. Namun, sejak akhir tahun 2015 hingga kini, target market Emobi memang agak tergeser dan lebih fokus mengerjakan proyek audio post-production yang kerap diminta oleh klien-klien dari luar negeri, seperti kebutuhan-kebutuhan voice over atau dubbing, semacam alih bahasa dari bahasa asing ke Indonesia atau sebaliknya untuk iklan, e-learning, film animasi, dan konten-konten video YouTube. Walau begitu, nyatanya Emobi juga masih menerima jasa untuk produksi musik, tetapi sekarang lebih fokus ke proses mixing-masteringnya saja.

Lalu, Adit menyampaikan tentang alasan mengapa konsentrasi dan fokus Emobi Studios kini terlihat bergeser jika dibandingkan dengan saat awal dirintis. “Kenapa aku geser pasarnya, karena aku melihat sebuah peluang yang lumayan menjanjikan menurutku. Saat kita over client ke luar negeri dengan tarif berupa mata uang asing yang bukan rupiah, ketika sudah dirupiahkan kan bakal lebih besar nominalnya. Nah, aku melihat peluang di situ dan belum banyak yang ngincer market itu,” paparnya.

Adit juga menambahkan informasi mengenai platform yang ia sering gunakan selama ini untuk mempromosikan Emobi Studios, antara lain melalui jasa marketplace onlineseperti freelancer.comupwork.com, dan fiverr.com. Selain itu, ia juga mempromosikannya lewat web dan pageFacebook, sehingga terkadang ada klien yang menghubungi langsung melalui direct email atau direct message FB, tanpa marketplace. “Aku ingat, pertama dapet klien dari luar negeri itu dari India lewat service marketplace pas akhir taun 2015. Waktu itu nominalnya masih sedikit, sekitar $20,” kenangnya.

Adit juga sempat membisikkan sedikit bocoran kepada BeritaBaik mengenai pendapatan tertinggi yang pernah dan berhasil diperoleh Emobi hingga kini. “Kalo enggak salah, pernah mencapai sekitar $2500 dalam sebulan. Tapi enggak selalu segitu sih, itu cuma beberapa kali di angka segitu, dan itu juga masih pendapatan kotornya, soalnya masih harus bayar talents dan studio tim,” sambungnya.

Kemudian Adit melanjutkan dengan membeberkan kendala-kendala yang ia alami selama menjalankan Emobi Studios. “Kendala pertama, karena beberapa tahun ini aku double jobsampai sekarang, kadang kalo ada job yang overload jadi agak keteteran. Tahun 2016 itu permintaan klien Emobi mulai lumayan padat. Sedangkan aku tiap hari Senin sampai Jumat harus kerja kantoran selama 8 jam, dari pagi sampe sore, jadi baru bisa ngerjain garapan Emobi malemnya. Akhirnya, bagi waktunya yang agak susah. Tapi untungnya sekarang udah ada tim sih, jadi ya lumayan lah bisa dibagi-bagi kerjaannya,” bebernya.

Kendala kedua menurut Adit yaitu ada saat-saat di mana ia merasa lelah. “Karena aku kerja kantorannya di bidang yang sama-sama harus terpapar audio, pagi audio, malam juga audio, jadi kadang telinganya cukup capek. Kadang pake headphone terus, kadang speaker. Selama hari kerja, 8 jam di kantor, 4 jam di studioku sendiri,” keluhnya.

Berbicara tentang sepak terjang seseorang dalam membangun dan menjalankan sebuah usaha, tentunya tidak semulus jalan tol. Tidak melulu suka, tetapi ada duka yang sewaktu-waktu dapat menerpa. Adit pun memaparkan pengalaman pahit yang pernah ia alami selama menjalankan Emobi Studios, salah satunya adalah saat ia ditipu oleh klien dari Eropa beberapa bulan lalu. “Di awal, dia udah DP 50 persen dan janji mau lunasi sisanya pas bulan Agustus. Habis itu, aku udah kirim balik ke dia hasil aransemen musik garapanku bersama timku yang quality-nya low, tapi belum final master. Ternyata di bulan Agustus dia masih belum bisa melunasi karena suatu alasan dan janji lagi bakal lunasin di bulan September. Pas tanggal 15 September aku chat dia di FB, email, dan Skype. Eh email dan Skype-ku enggak dibales, FB-ku diblok. Akhirnya ya sekian Euro melayang, asem tenan ki. Akhire yo diikhlaske wae, nanti kan ada gantinya,” papar Adit.

“Itu juga termasuk salah satu kendala kalo aku dapet proyek yang enggak dari marketplace sih, karena enggak ada jaminan kan. Walaupun sebenarnya lebih enak kalo dapet proyek yang bukan dari marketplace, langsung ke email atau FB gitu, karena bayaran kita enggak dipotong. Kalo dari marketplace kan ada potongannya, mulai dari 5 sampai 20 persen, tergantung marketplace sama kliennya,” imbuhnya.

Berkaca dari pengalaman yang lumayan merugikan tersebut, Adit menjadi kepikiran salah satu solusi yang bisa ia terapkan untuk mencegah agar kejadian serupa tidak akan terulang lagi. “Mungkin kalau untuk proyek yang dapetnya enggak dari marketplace, harus 100 persen bayarnya, langsung lunasin di muka,” pikirnya.

Meski telah berhasil merintis Emobi Studios dari nol hingga menjadi sukses seperti saat ini, ternyata Adit menuturkan bahwa masih ada keinginan lain yang ingin ia capai. “Goal-ku enggak muluk-muluk sih, pengen bisa kerja kapanpun dan di manapun, ngga harus ngantor, waktunya fleksibel. Yang penting tinggal ada laptop, audio interface, headphone, dan koneksi internet lancar, aku udah bisa kerja. Bisa juga nanti ngembangin punya tim yang lebih banyak lagi. Itu sih, yang bikin kenapa aku main kerjaan online kayak gitu. Aku enggak harus tatap muka sama klien sering-sering, ada plus minusnya sih soal itu,” tuturnya.

“Apalagi, sekarang studio udah bisa full in the box, dalam artian full software, tanpa harus ada hardware. Dengan software-software yang sekarang semakin canggih tuh bisa full in the box, dan itu kualitasnya masih acceptable, klien juga masih oke,” imbuhnya.

Selain itu, Adit berharap agar Emobi Studios juga bisa mendapat pekerjaan yang lebih menantang untuk meng-upgrade skill-skill SDM yang ada di dalamnya. “Enggak sekadar berupa nominal yang lebih banyak saja, tapi kayak tahun ini aku dapet challengekerja jadi sound designer untuk sebuah game itu kan juga sebuah tantangan baru. Karena sebelumnya aku cuma ngurusin audio untuk bidang film, belum pernah di game, dan itu merupakan industri yang baru dan sedikit berbeda. Kalo audio for film itu sifatnya linear, sedangkan audio for game itu non linear alias interaktif. Di situ masih banyak yang harus dipelajari, tapi seru sih,” katanya.

Di akhir perbincangan kami, Adit pun menyampaikan pesan-pesan yang ditujukan bagi pemula yang ingin membangun usaha di bidang serupa, khususnya anak-anak muda. “Berbicara tentang audio post & music productionitu ternyata ranahnya luas banget. Dengan perkembangan teknologi, pendengar jaman sekarang sudah lebih aware soal kualitas audio yang bagus dan berkualitas untuk mendukung konten-konten visual. Jadi, ketika kita belajar audio, jangan cuma fokus di satu ranah dan konsentrasi aja,” jelasnya.

Tips dari Adit adalah pertama, tetep masih mau belajar. Mau diri kita udah se-expert apapun, tapi kalau ketemu hal baru jangan merasa cepat puas dengan kemampuan yang dimiliki, kita harus tetap belajar karena akan selalu ada perkembangan-perkembangan teknologi.

“Selain skill produksi, kita juga harus tahu gimana cara mem-branding diri sendiri dan berjejaring. Gimana biar kita yang dicari, bukan mencari. Itu salah satu kemampuan yang kadang orang kurang mau belajar soal itu. Banyak orang di luar sana yang jago-jago, tapi karena dia enggak bisa membranding dirinya sendiri, akhirnya kalah sama orang yang kemampuannya standar tapi dia bisa mem-branding dirinya sendiri,” pungkas Adit.