Music / Portfolio / Published Articles · December 1, 2019 0

Uniknya Kolaborasi FSTVLST dengan Musik Gamelan

[Artikel yang saya tulis ini pertama kali diterbitkan pada 1 Desember 2019 di website BeritaBaik.id: https://beritabaik.id/read?editorialSlug=musik&slug=1575251994079-uniknya-kolaborasi-5-band-anak-muda-dengan-musik-gamelan]

Yogyakarta – Pagelaran kolosal gamelan dengan musik kekinian baru saja digelar dalam acara bertajuk ‘Rhapsody of The Archipelago: Gamelan 4.0’ (ROAR GAMA 4.0) pada Sabtu (30/11/2019) malam di Lapangan Grha Sabha Pramana UGM. Acara kerjasama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM dengan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini untuk memperingati Lustrum ke-14 Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Dies Natalis Fisipol UGM ke-64.

Ishari Sahida, mitra kreatif ROAR GAMA 4.0 menjelaskan penekanan acara ini lebih kepada bagaimana anak-anak muda mengelola kebudayaannya. Lima kelompok musik yang lagu-lagunya digemari anak-anak muda dihadirkan, yakni Mantra Vutura, Tashoora, Letto, FSTVLST, dan OM New Palapa bersama Brodin yang kemudian karya-karya mereka diperkaya dengan orkestrasi gamelan. 

“Biasanya yang terjadi adalah band-band bermain diiringi orkestrasi barat, kali ini dibuatlah band-band tersebut membawakan karya mereka dengan diiringi orkestrasi timur, dalam hal ini gamelan. Gamelan itu bukan hal yang dulu ada kemudian sekarang dilestarikan. Gamelan ada di setiap jaman, karena gamelan itu membuat jamannya sendiri. ROAR GAMA 4.0 adalah salah satu peristiwa dan bukti bagaimana gamelan sedang membuat jamannya sendiri,” tutur Ishari yang lebih akrab disapa dengan nama Ari Wulu.

Rintik-rintik hujan turun mengiringi selama acara ROAR GAMA 4.0 berlangsung tak membuat para penonton yang hadir di Lapangan Grha Sabha Pramana beranjak dari tempatnya, terlebih ketika band FSTVLST sedang menampilkan aksi panggungnya sekitar jam 11 malam. FSTVLST dipilih sebagai salah satu penampil ROAR GAMA 4.0 karena dianggap mewakili mereka-mereka yang muda, beringas, punya tekad, dan punya tujuan jelas yang disematkan.

‘Akulah Ibumu’ dibawakan oleh FSTVLST sebagai lagu pertama. Lagu yang sebelumnya memang sudah diawali dengan lantunan suara penuh cengkok berbahasa Jawa ini, semalam jadi terdengar lebih magis dan terasa semakin kental dengan unsur dan nuansa Jawa ketika suguhan musik dari FSTVLST berhasil melebur bersama alunan gamelan yang ditabuh oleh para pengrawit.

Penonton terlihat antusias bernyanyi bersama seiring dengan tempo yang semakin enerjik di lagu ‘Gas!’ yang diambil dari album terbaru mereka. Seperti biasa, di sela-sela pertunjukan, Farid Stevy selaku vokalis dari FSTVLST selalu menyapa para penonton dengan ramah sembari menyampaikan narasi-narasi inspiratif yang membangkitkan semangat.

Lagu ketiga yang mereka bawakan yaitu ‘Bulan Setan atau Malaikat’ yang kemudian disambung dengan lagu ‘Menantang Rasi Bintang’. Baik sajian performa dari para kolaborator maupun atmosfer dari barisan penonton nampak semakin menggila hingga lagu ‘Tanah Indah untuk Para Terabaikan Rusak dan Ditinggalkan’ dikumandangkan sebagai lagu pamungkas untuk pertunjukan FSTVLST kali ini.

Setelah pentas berakhir, BeritaBaik beruntung mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan Farid Stevy di backstage. Farid mengatakan bahwa ROARGAMA 4.0 ini menjadi kesempatan pertama kalinya bagi FSTVLST untuk berkolaborasi dalam format pertunjukan. “Sebelumnya udah pernah sih dengan komunitas untuk bikin kolaborasi sama gamelan, garap satu lagu FSTVLST, tapi waktu itu tidak dalam format pertunjukan. Kalau yang dalam format pertunjukan, ya ini yang pertama kalinya,” tuturnya.

Ia juga mebeberkan hal-hal apa saja yang jadi tantangan terbesar bagi FSTVLST saat harus berkolaborasi dengan gamelan di acara ini. “Tantangan terberatnya secara teknis banyak ya sebenarnya, pentatonis-diatonis, terus kita biasa main berlima kemudian sekarang berduapuluh. Menyeimbangkan kerja band dengan kerja gamelan tentu saja jadi tantangan teknis yang cukup besar. Tapi, sebenernya tantangan terbesarnya itu tentang rasa, gitu ya. Biasa nge-band rasanya seperti ini, ternyata gamelan juga punya rasa sendiri. Dua rasa itu kemudian harus dilebur dalam sebuah komposisi pertunjukan itu juga menantang. Makanya dalam pertunjukan, kami yakin betul teman-teman pengrawit gamelan itu kayak scale-down, jadi mereka tidak lagi idealis, karena di sini ada band. Sama seperti kami pun tidak memaksakan kehendak kami sebagai band pada sebuah kolaborasi. Kedua belah kolaborator kemudian bisa melegakan diri untuk meletakkan idealismenya masing-masing dalam situasi yang, oke ini kita barengan, beda gapapa, tapi harus menjadi satu,” bebernya.

Farid kemudian menggambarkan betapa nervous-nya mereka sebelum pertunjukan semalam dimulai. “Sebelum pentas, sampai detik terakhir, terus terang kami deg-degan ya. Begitu juga dengan keyakinan kami bahwa teman-teman pengrawit juga deg-degan. Tapi, ini sudah terjadi, ini hanya tinggal dilakukan. Yang paling terpenting dari panggung tadi adalah berbagi kebahagiaan. Pengalamannya membahagiakan. Kita udah enggak mikir, ini nanti gimana ya, bagus apa enggak, sinkron apa enggak, bersatu apa enggak, itu udah di luar kendali kita,” katanya.

Sebelum perbincangan berakhir, Farid pun mengaku bahwa latihan yang dilakukan oleh FSTVLST bersama teman-teman pengrawit gamelan sebelum hari-H terbilang cukup singkat. “Rencananya, kami ada 3 kali latihan. Tapi, di latihan pertama, kami sepakat bahwa ini udah selesai gitu, mungkin tinggal ada beberapa hal yang perlu disinkronkan. Terus habis itu ada diskusi-diskusi juga. Jadi, kami akhirnya hanya 2 kali latihan dan selesai. Buat kami sih, bebannya enggak terlalu banyak, tapi kalau buat pengrawitnya pasti berat ya, karena harus mengiringi band-band lainnya seperti Tashoora, Mantra Vutura, mungkin mereka harus latihan 30 lagu, kalau kami kan hanya latihan 5 lagu,” pungkasnya.

Foto: Hanni Prameswari