[Artikel yang saya tulis ini pertama kali diterbitkan pada 4 Desember 2019 di website BeritaBaik.id: https://beritabaik.id/read?editorialSlug=film&slug=1575451187062-serunya-menonton-film-menggunakan-virtual-reality-di-ffd-2019]
Yogyakarta – Bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada tanggal 3 Desember 2019, Festival Film Dokumenter (FFD 2019) menggelar program ‘Doctalk: The Feelings of Reality’. Program ini digagas oleh FFD yang bekerjasama dengan Voice Global dalam rentang waktu kerja dari tahun 2018-2020.
Diskusi program tersebut diselenggarakan di IFI-LIP Yogyakarta, Jalan Sagan No. 3, Terban, Gondokusuman, Yogyakarta yang dimentori oleh dua orang dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Yogyakarta, Ajiwan Arief dan M. Ismail.
Total ada 8 film yang masuk ke dalam program ‘The Feelings of Reality’. Sebut saja ‘Alun’, ‘Menjadi Agung’, ‘Aisyah’, ‘Saling’, ‘Menjadi Teman’, ‘Bulu Mata Kaki’, ‘Apa di Kata Nadakanlah, Apa di Nada Katakanlah’ serta ‘Indera Kaki’.
‘The Feelings of Reality’ menyajikan film dengan konsep yang berbeda dari film-film yang sudah ada, yakni dengan Virtual Reality (VR), sebuah teknologi yang membuat pengguna bisa berinteraksi dengan lingkungan yang ada di dunia maya, sehingga penonton akan merasa seperti benar-benar berada di lingkungan tersebut. Lewat media VR, ‘The Feelings of Reality’ mengajak para penonton untuk merasakan pengalaman yang berbeda.
“Tadi saya baru pertama kali melihat VR. Awalnya, tempatnya sangat luas, ternyata itu tempatnya di Jakarta. Dari ceritanya itu, saya sendiri berdiri tapi memang tidak bisa berjalan, jadi kayak melihat sekilas di ruang kanan kiri, saya lihat si Ayu ini mengajar menari, dan saya seperti ikut menari, karena saya dapat merasakan suaranya dari alat yang bergetar di tangan saya,” komentar Zaka, salah seorang pengunjung yang berkebutuhan khusus.
Pengunjung lain bernama Maman pun mengungkapkan jika ia merasa excited terhadap teknologi Virtual Reality. Apalagi dengan adanya dokumenter tersebut, ia juga penasaran untuk melihatnya akan jadi seperti apa.
“Kalau yang saya rasakan saya dapat pengalaman baru. Cuman kayak geregetan gitu, karena saya seolah-olah berada di satu titik yg di situ saya pengin reach out, tapi enggak bisa. Mungkin ke depannya kalo teknologinya sudah lebih mengizinkan, kita enggak cuman bisa sekadar nengak-nengok dari satu titik, tapi mungkin bisa lebih mendekat, ganti angle. Tapi asyik kok, saya merasa bahwa ini bisa menjadi satu bentuk penyajian dokumenter yg beda dan mungkin ada excitement tersendiri,” beber Maman panjang lebar.
Setelah selesai menonton film VR dan mendengarkan pengalaman dari beberapa penonton, kemudian acara dilanjutkan dengan diskusi bersama para pembicara, Ajiwan Arief dan M. Ismail. Kedua pembicara yang sama-sama berkebutuhan khusus itu juga membagikan ceritanya tentang proses mentoring hingga pembuatan film selesai. Medium ini secara umum dapat menjadi alat advokasi, tetapi belum maksimal.
Ismail mengungkapkan bahwa film bisa membuat isu disabilitas dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat, dan penonton akan merasa lebih dekat lagi dengan menggunakan VR.
“Ada beberapa saran untuk membuat film dokumenter tentang disabilitas, di antaranya dengan menghadirkan sosok penyandang disabilitas secara wajar (tidak berlebihan), masa lalu penyandang disabilitas tidak perlu diceritakan, serta ditekankan pula bahwa penyandang disabilitas bukanlah objek, tetapi subyek,” terangnya.
Foto: Hanni Prameswari