Selama ini, aktivitas berjalan kaki & bersepeda termasuk kebutuhan pokok bagiku. Kalian yang kenal baik denganku pasti tahu alasan di balik itu kan? 🙈😝🤣
Tadinya, rute yang kupilih tiap lagi mau ke mana gitu ya paling cuma lewat situ-situ aja, lagi-lagi lewat jalan utama. Seringnya aku nglakoni itu sebagai tuntutan amargo kahanan sih, bukan sebagai kegiatan senang-senang, tujuannya memang cuma sebatas “sik penting aku iso tekan nggone tanpa kudu ngrepoti kanca atau ngetokke duit akeh nggo ngojol bolak-balik”, makanya aktivitas itu jadi jarang kunikmati.
Namun, semua itu berubah sejak aku mengenal akun @gang.gang.an. Aktivitas #TelusurGang yang dibagikan di akun itu selalu bikin aku penasaran, baik dari segi lokasi, latar belakang mengapa mereka memilih rute tersebut, hingga hasil dokumentasi visual & teks yang diunggah. Mereka bikin aku menikmati kembali aktivitas yang selama ini sudah sering kulakukan, bikin aku jadi berani untuk blusukan lewat jalan tikus yang terkadang menyimpan detail lebih menarik dibanding lewat jalan utama yang kerap macet & membosankan.
Beberapa waktu lalu, sebuah kesempatan untukku ikut #TelusurGang bersama mereka akhirnya datang juga. Tiba-tiba, aku dihubungi oleh admin @gang.gang.an, katanya aku menang slot di agenda #TelusurGang selanjutnya karena komentar yang kutinggalkan di salah satu postingan mereka termasuk “paling niat”, wkw. 🤣
Setelah diberitahu tanggal dan jamnya, aku sempat ketar-ketir takut enggak bisa ikut karena pada minggu itu seharusnya aku bekerja selama 10jam per hari (sik jelas ketoke ra bakal nyandak nek salah sijine ora ono sik diakali, wkwk). Aku langsung mutar otak gimana caranya biar kerjaan sekaligus #TelusurGang bisa tak lakoni semua. Alhasil, hari Senin (11/7) aku rela bekerja selama 12jam untuk mengganti 2jam yang bakal terpotong di esok hari 🤣. Ya, di saat-saat seperti inilah aku bersyukur karena kerjaanku masih bisa dibilang fleksibel, enggak se-strict itu.
Selasa (12/7) sore, kami menelusuri kampung Badran. Sebuah tempat yang sempat lekat dengan sebutan “kampung preman” pada tahun 80-90an, kampung di mana legenda Gun Jack berawal, kampung yang kini telah berubah image jadi kampung ramah anak. Namun, jauh sebelum jadi area pemukiman, Badran merupakan area pemakaman warga keturunan Tionghoa. Batu nisannya biasa disebut dengan Bongpay. Sisa-sisa Bongpay ternyata masih dapat ditemukan di Badran hingga saat ini, bahkan di spot-spot tak terduga karena telah berbaur dengan aktivitas keseharian penduduknya.
Baru beberapa menit berjalan, ternyata ada pintu ajaib berupa sebuah bangunan terbengkalai yang harus kami lewati sebelum menuju koordinat Bongpay pertama. Selain puing-puing Bongpay yang tersebar sekaligus terbengkalai (bikin miris 😢) di tepi sungai dan halaman rumah penduduk, kami juga melihat sebuah kolam renang terbengkalai.
“Dulu, kolam ini adalah proyek pemerintah. Terus, karena Badran ke sini-sini dijadikan kampung ramah anak, makanya dibuatkan wahana rekreasi, salah satunya si kolam renang ini. Dulu, kolam ini bagus banget, tapi pada tahun 2016 kena luapan banjir Kali Winongo. Sejak saat itu, kolam ini enggak difungsikan lagi sama warganya,” ujar Shinta (@madebyrindu).
#TelusurGang sore itu kami akhiri dengan nongkrong sejenak di tepi rel sambil menunggu kereta lewat, kemudian jajan di angkringan Bu Wati sebelum kembali ke titik kumpul di Parkiran Barat Stasiun Tugu. Sungguh suatu sore yang menyenangkan. Terima kasih, @gang.gang.an dan sesama teman jalan-jalanku sore itu. 🌻