Arts & Culture / Portfolio / Published Articles · November 30, 2019 0

Cerita Dhanny Sanjaya di Balik Proyek ‘Ichtyhumanology Institute’

[Artikel yang saya tulis ini pertama kali diterbitkan pada 30 November 2019 di website BeritaBaik.id: https://beritabaik.id/read?editorialSlug=seni&slug=1575126401418-cerita-dhanny-sanjaya-di-balik-proyek-ichtyhumanology-institute]

Yogyakarta – Residensi adalah salah satu program rutin yang dihelat oleh Cemeti Institute for Art and Society, program ini telah mereka rintis sejak tahun 2006. Tak hanya mengembangkan gagasan pokok dalam menciptakan keterhubungan antara seni dan masyarakat, program residensi Cemeti juga mendorong sebuah proses terbuka.

Lewat program ini, seniman residensi dapat mengelola dan mengembangkan gagasan karya, melakukan penelitian artistik dan pertukaran pengetahuan. Selain itu, menghubungkan seniman dengan berbagai jejaring lokal yang mendukung kerja-kerja kolaboratif. Selama tiga bulan lamanya, seniman residensi merasakan nuansa ruang interaksi baru dan penjajahan medan sosial bersama tim kerja Cemeti.

Sejak Bulan September hingga November 2019, Cemeti mendampingi tiga seniman residensi dari negara yang berbeda, yaitu Chu Hao Pei (Singapura), Dhanny Sanjaya (Indonesia), dan Sophie Inmann (Jerman). Program residensi seniman periode #2 tahun 2019 ini diselenggarakan oleh Cemeti Institute for Art and Society bekerja sama dengan Goethe-Institut Indonesia dan National Art Council Singapura.

Setelah tinggal di Jogja dan bereksplorasi selama tiga bulan lamanya, tiba saatnya ketiga seniman tersebut untuk menampilkan karyanya di sebuah Pameran dan Presentasi Seniman Residensi Periode #2 2019. Acara tersebut digelar selama 22-30 November2019 di Cemeti Institute for Art and Society di Jalan DI Panjaitan No. 41, Mantrijeron, Yogyakarta.

Sebelum pameran berakhir, BeritaBaik mendapatkan kesempatan untuk berbincang langsung dengan salah seorang seniman residensi yang terlibat, yaitu Dhanny Sanjaya yang lebih akrab disapa dengan Danot.

Seniman kelahiran Banjarmasin yang kini berdomisili di Tangerang ini menceritakan kepada BeritaBaik tentang segala sesuatu hal di balik proyek seni jangka panjangnya, ‘Ichtyhumanology Institute’ yang berupa lembaga fiksi yang menyajikan studi tentang hubungan alami antara manusia, ikan, dan laut. Proyek ini menawarkan metode penelitian sebagai media untuk melihat ulang bagaimana kita memposisikan diri dengan lingkungan dan organisme lain.

Berangkat dari ketertarikan pada tema kekosongan laut di masa depan, Danot mencari kemungkinan baru dengan melihat persoalan ini dalam kerangka situasi lokal di Yogyakarta.

“Jadi, waktu aku masukin lamaran ke Cemeti itu memang tema yang diangkat tentang satu artikel yang pernah aku baca. Itu bicara tentang ada riset yang bilang, di tahun 2050, kalau kita enggak bisa mencegah perubahan iklim yang terjadi itu, tahun 2050 kita mungkin akan kehilangan ikan-ikan di laut. Di Tangerang, aku sudah sempat bikin karya tentang hal itu, nah aku membawa proposal itu ke Jogja seperti semacam lanjutan. Ketika laut kosong kan berarti sumber daya pangannya berkurang, nah bagaimana hal itu dilihat dalam situasi Jogja. Jadi, mencari kemungkinan-kemungkinan dalam mengembangkan hal itu,” tuturnya.

Di masa awal residensi, ia menemui beberapa dosen, sosiolog, peneliti, serta pembudidaya ikan untuk mengetahui bagaimana kondisi perikanan di Yogyakarta. Isu tersebut terus diikutinya hingga ia bertemu dengan Irwanjasmoro, seorang aktivis sungai independen yang membawanya pada beberapa eksplorasi sungai untuk melihat realita yang lain.

Bersama Irwan, Danot melihat permasalahan lain tentang ikan lokal yang juga terkait erat dengan berbagai praktik tidak sehat yang dilakukan di sungai. “Setelah kita ngobrol-ngobrol, dia membantu aku untuk meneliti di Sungai Oyo. Kami mengamati keadaan sungai dan ikan-ikan, terus ternyata untuk melihat beberapa jenis ikan itu kita perlu membalik-balik batu karena ternyata enggak segampang itu. Tapi, aku menemui hal baru. Buatku itu hal baru, karena selama ini kan aku lebih terbiasa sama laut dan ikan-ikan laut, enggak dekat sama sungai dan ikan-ikan sungai,” paparnya.

Satu hal yang menarik untuknya secara pribadi adalah adanya persaingan antar spesies ikan di dalam satu ekosistem sungai. Spesies ikan pendatang invasif yang diceburkan oleh warga dan pemerintah hanya karena faktor kemalasan mereka di beberapa titik sungai sebagai bagian dari upaya mendukung budidaya perikanan. Ternyata justru menjadi pesaing baru dalam perebutan ruang habitat dan sumber makanan bagi spesies-spesies ikan lokal yang telah hidup dan berkembang biak secara alami di sungai.

“Misal ada area sungai A dan B. Di setiap sungai kan ada jenis ikan yg berbeda tuh. Si pemancing ini tinggal di dekat area sungai A, tapi dia sering mancingnya di area sungai B. Nah karena kemalasannya, dia kumpulkan ikan-ikan di area B, terus dia pindah ikan-ikan sungai B ke area sungai A, padahal di area A ada ikan-ikan asli yang habitatnya di situ. Nah itu kan menjadi ancaman ya, bahaya. Ikan-ikan itu bisa jadi ikan invasif alias ikan pendatang yang bisa memakan sumber daya ikan lokal di situ, dan lama-lama ketika tubuhnya jadi tambah besar, mereka bisa memakan ikan asli,” bebernya.

Berbagai cerita dan data yang Danot temukan, ia pergunakan sebagai landasan dalam membangun narasi karya, di mana ia menarik isu kekosongan ikan di laut ke cerita tentang sungai dan pola konsumsi masyarakat lokal.

Dua lanskap persoalan ini kemudian ia jahit ke dalam sebuah fiksi penemuan teknologi pangan terbaru bernama ‘cultured meat’, menawarkan potongan daging yang ditumbuhkan dari sel-sel hewani di laboratorium, tanpa perlu menyembelih. Daging ini diklaim lebih sehat dengan emisi karbon yang lebih rendah di dalam pola produksinya.

Danot juga mengaku tentang berapa lama persiapan yang ia butuhkan untuk membuat karya dalam pameran residensi ini. “Ide-idenya sih sudah seliweran semenjak sekitar sebulan terakhir, tapi persiapan visualnya ini baru dua minggu terakhir, memang agak mepet, hehe,” ujarnya sambil tertawa.

Sebelum perbincangan kami berakhir, Danot memberikan alasan mengapa ia membuat tiga jenis karya berbeda yang disatukan dalam sebuah nama Ichtyhumanology Institute dalam pameran residensi ini.

“Oh, itu memang enggak ada nama khusus untuk masing-masing instalasi karya, karena aku ingin membuat sebuah cerita narasi bahwa aku ingin orang makan, aku ingin orang melihat bahwa kita berhasil bikin satu produk, setelah itu aku ingin orang masuk dan melihat ke dalam laboratoriumnya,” pungkasnya.

Foto: Hanni Prameswari