Arts & Culture / Portfolio / Published Articles · January 8, 2020 0

‘Earth Manual Project’ Singgah di Yogyakarta Mulai Pekan Ini

[Artikel yang saya tulis ini pertama kali diterbitkan pada 13 Januari 2020 di website BeritaBaik.id: https://beritabaik.id/read?editorialSlug=seni&slug=1578896391949-earth-manual-project-singgah-di-yogyakarta-mulai-pekan-ini]

Yogyakarta – Baru-baru ini, pameran ‘Earth Manual Project’ resmi dibuka dan akan berlangsung selama tanggal 11-31 Januari 2020 di Jogja Gallery, Jl. Pekapalan No.7, Prawirodirjan, Yogyakarta. Pameran yang mengusung tema ‘Disaster and Design: for Saving Lives’ ini terbuka untuk umum dan gratis.

‘Earth Manual Project’ pertama kali diselenggarakan di Design and Creative Center Kobe (KIITO) di Kota Kobe, Hyogo, Jepang pada tahun 2013. Pameran ini kemudian singgah ke beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Filipina, Thailand, hingga Indonesia. Di Indonesia sendiri, ‘Earth Manual Project’ ternyata telah hadir untuk pertama kalinya di Jakarta pada bulan Mei 2019 lalu, sebelum akhirnya bertandang ke Yogyakarta mulai pekan ini.

‘Earth Manual Project’ yang hadir di Jogja ini merupakan sebuah pameran kolaborasi antara The Japan Foundation Asia Center, Departemen Arsitektur dan Perencanaan UGM, dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Daerah Istimewa Yogyakarta yang bekerja sama dengan Design and Creative Center Kobe (KIITO) dan Plus Arts.

‘Earth Manual Project’ berfokus pada penerapan berbagai ide kreatif dan inovatif untuk mengatasi isu-isu kebencanaan dalam tahapan yang berbeda-beda, mulai dari pendidikan kesiapsiagaan bencana hingga upaya-upaya respon dan bantuan ketika bencana terjadi. Pameran ini bertujuan untuk membagikan, menghubungkan, dan menjadi sarana belajar tentang penerapan ide-ide kreatif dalam kebencanaan, yang beberapa di antaranya telah berevolusi dan berubah dari ide awalnya.

Pameran ini juga melibatkan proyek dan karya dari beberapa negara lain yang kerap mengalami bencana pula, seperti Indonesia, Thailand, dan Filipina. Karya-karya yang ditampilkan dalam pameran ini dibuat melalui riset yang mendalam dan proses wawancara yang terperinci dengan para penyintas bencana, memanfaafkan pendekatan kreativitas dan inovasi untuk mengatasi isu-isu kebencanaan, serta dibuat dari hasil kolaborasi oleh para ahli lintas bidang kebencanaan, seperti arsitektur, desainer, dan seniman.


Bicara Trauma Healing

Terdapat berbagai karya dan program yang ditampilkan dalam pameran ‘Earth Manual Project’. Salah satu karya yang sangat pantas untuk diapresiasi yaitu ‘Lost Homes’, sebuah model arsitektural atau maket/miniatur yang menunjukkan sebuah kota secara detail sebelum hancur akibat tsunami tahun 2011 di Jepang. Karya yang digagas oleh ahli arsitektur, Osamu Tsukihashi ini bertujuan untuk membantu warga dalam proses penyembuhan trauma (trauma-healing) sekaligus sebagai bahan arsip, serta mengarah pada referensi untuk membangun komunitas tahan bencana.

Namun, kali ini ‘Lost Homes’ nampak berbeda dan lebih spesial daripada ide awalnya, karena karya tersebut kemudian direplikasi sesuai dengan kondisi yang pernah terjadi di Jogja. Jadi, pengunjung pameran tidak hanya dapat menyaksikan maket ‘Lost Homes’ asli yang menampilkan sebuah kota di Jepang, tetapi juga dapat mengamati maket skala 1:500 hasil kolaborasi dari Tsukihahi dengan mahasiswa Desain Arsitektur Tematik 2 UGM yang menampilkan detail Desa Bakalan, Yogyakarta sebelum terdampak erupsi Merapi tahun 2010.

Selain kolaborasi dengan mahasiswa, Tsukihashi juga mengajak warga Bakalan untuk terlibat langsung dalam karya tersebut dengan mengumpulkan foto-foto yang diambil dari ponsel warga, sebelum dan sesudah erupsi sebagai salah satu panduan tambahan. Para warga Bakalan juga diajak untuk ikut menambahkan detail warna atap bangunan pada maket dan melabeli bangunan sesuai dengan ingatan akan nama penghuni atau tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan di bangunan tersebut.

“Mereka (warga) memiliki ingatan yang digunakan sebagai panduan. Model maket membawa kembali ingatan yang terkait dengan area tersebut,” tutur Tsukihashi pada saat pembukaan pameran.

Foto: Hanni Prameswari