[Artikel yang saya tulis ini pertama kali diterbitkan pada 5 Agustus 2019 di website BeritaBaik.id: https://beritabaik.id/read?editorialSlug=seni&slug=1565018395397-megahnya-panggung-pertunjukan-di-malam-puncak-jogja-cross-culture]
Setelah menggebrak antusiasme para pengunjung di sekitar wilayah Malioboro dan Titik 0 Kilometer Yogyakarta dengan mengadakan festival jamu dan pertunjukan Wayang Kota pada hari pertama, kemeriahan dan keseruan rangkaian acara Jogja Cross Culture semakin terasa pada hari kedua, Minggu (4/8/2019).
Pada hari keduanya, rangkaian acara Jogja Cross Culture dimulai sejak pagi hari jam 08.00 WIB dengan agenda ‘Historical Trail Njeron Benteng’. Aktivitas tersebut terbuka untuk umum dan mengedepankan edukasi sejarah dengan mengajak para pesertanya menyusuri tempat-tempat budaya dan bersejarah di sekitar wilayah Njeron Benteng.
Aktivitas selanjutnya kembali berpusat di Titik 0 Kilometer Yogyakarta, yakni ‘Jogja Sketsa bersama Maestro’, lalu pentas ‘Keroncong Paramuda’ yang menemani jam-jam makan siang para penonton. Selepas waktu Ashar, digelarlah aktivitas ‘Dolanane Bocah Njobo Latar’ yang dilanjutkan dengan penampilan tari-tarian rakyat serta flash mob dari banyak perwakilan wilayah di Yogyakarta dalam ‘Njoged Njalar’.
Setelah waktu Isya berlalu, Jogja Cross Culture pun mulai memasuki acara puncaknya. Diawali dengan pertunjukkan musik Historical Orchestra ‘Selaras Juang’ yang membawakan repertoire lagu-lagu wajib dalam format orkestra, antara lain lagu ‘Indonesia Raya’ (full 3 stansa), ‘Syukur’, ‘Tanah Airku’, ‘Di Timur Matahari’, ‘Mengheningkan Cipta’, dan sebagainya.
Panggung pertunjukan semakin terasa megah saat Cross Culture Performance ‘Reunen’ dimulai. Alunan klasik orchestra instruments ala Barat dapat bercampur dengan bunyi-bunyian tradisional instrumen gamelan Jawa (karawitan) dan alat-alat musik tradisional lainnya seperti karinding dan seruling bambu, serta diiringi dengan suara merdu dari kelompok paduan suara yang bertugas.
Bahkan, dalam beberapa repertoire, ada pula sentuhan dari noise-electronic music yang membuat musiknya menjadi semakin terasa eksperimental. Semua bunyi-bunyian dari berbagai macam elemen dan instrumen yang berbeda tersebut ternyata dapat melebur menjadi satu kesatuan yang terdengar syahdu di telinga. Cross culture performance ini juga merupakan kolaborasi seni dari berbagai macam kampus dan komunitas, seperti Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Seni Indonesia, Sekolah Menengah Musik Yogyakarta, dan masih banyak lagi. Semua hal tersebut menjadi sebuah bukti bahwa cross culture atau silang budaya itu dapat terjadi di Jogja dengan bersifat positif.
Di sela-sela cross culture performance ‘Reunen’, Wakil Walikota Yogyakarta Heroe Purwadi sebagai Ketua Panitia dari Jogja Cross Culture sempat meresmikan peluncuran program ‘Gandhes Luwes’, ‘Road to Jogja Cross Culture 2020’, dan ‘Jenang Golong Gilig’.
Setelah program-program tersebut diresmikan, pertunjukan seni kolaborasi dilanjutkan kembali. Salah satunya, ada penampilan syahdu nan apik dari Nugie sebagai bintang tamu. Suasana terasa semakin meriah dan memanjakan mata ketika model-model yang memakai kostum ciamik dari berbagai suku di Indonesia bersama para penari api dan neon lights mulai unjuk gigi di bawah panggung.
Semua itu terjadi berbarengan saat musik kolaborasi sedang dimainkan di atas panggung. Tak terasa pertunjukan berakhir sekitar jam 23.00 WIB dengan percikan indah kembang api yang dimainkan oleh beberapa penari sebagai penutup.