Music / Portfolio / Published Articles · November 17, 2019 0

Mus Mujiono, Tampil di Ngayogjazz dan Cerita Soal Djaduk Ferianto

[Artikel yang saya tulis ini pertama kali diterbitkan pada 17 November 2019 di website BeritaBaik.id: https://beritabaik.id/read?editorialSlug=musik&slug=1574046269112-mus-mujiono-tampil-di-ngayogjazz-dan-cerita-soal-djaduk-ferianto]

Yogyakarta – Festival musik Ngayogjazz yang diselenggarakan di Padukuhan Kwagon, Godean, Sleman pada hari Sabtu (16/11/2019) kemarin banyak membuat pengunjung maupun penampil sangat terkesan, salah satunya Mus Mujiono, seorang musisi jazz Indonesia era 80-an yang kerap mendapat julukan George Benson Indonesia berkat teknik scat-nya yang mampu berimprovisasi menyenandungkan melodi rumit hanya dengan suara dari mulutnya.

Mus Mujiono yang akrab dipanggil dengan nama Nono mendapatkan kesempatan untuk tampil pertama kalinya di festival musik Ngayogjazz di Panggung Umpak saat hampir jam 10 malam. Kali ini Nono enggak hanya memainkan gitar sendirian, tetapi juga berkolaborasi dengan Dexter band asal Jogja yang mengiringinya di atas panggung.

Sebelum ‘Ku Nyatakan Cinta’ dibawakan sebagai lagu pertama, Nono mengajak para penonton agar mengapresiasi dan mengheningkan cipta terlebih dahulu untuk almarhum Djaduk Ferianto, seorang seniman, musisi, sekaligus pendiri Ngayogjazz yang baru saja berpulang menjelang tiga hari sebelum Ngayogjazz 2019 dihelat. Selanjutnya, ia membawakan lagu kedua yang berjudul ‘Mesra’.

Memasuki lagu ketiga, ia berceloteh akan membawakan sebuah lagu berjudul ‘Keraguan’ karya musisi jazz Indonesia yang meninggal dunia pada akhir bulan Desember tahun lalu. “Ada satu karya yang luar biasa dari Dian Pramana Poetra yang pernah saya nyanyikan juga, lagunya seperti ini,” tuturnya sambil bersenandung sekaligus memainkan gitarnya.

Setelah lagu tersebut selesai dibawakan, ia kembali mengejutkan penonton dengan memainkan sebuah lagu karya musisi jazz legendaris Indonesia, yaitu ‘Esok Kan Masih Ada’, ciptaan Utha Likumahuwa yang telah tiada pada tahun 2011. Penghormatan-penghormatan yang diberikan oleh Nono tersebut semakin terasa emosional sekaligus mengharukan dengan cara mengajak penonton untuk mengenang karya-karya dari para tokoh jazz kebanggaan tanah air.

Nono bisa dibilang sangat komunikatif terhadap penonton, terbukti dari seringnya ia menyapa dan mengajak para penonton untuk bernyanyi bersama malam itu hingga tak terasa total 9 lagu telah ia bawakan, termasuk lagu-lagu populernya seperti ‘Tanda-tandanya’, ‘Arti Kehidupan’, bahkan lagu karya George Benson seperti ‘Nothings Gonna Change My Love for You’ dan ‘On Broadway’ pun ia mainkan sebagai dua lagu penutup aksi panggungnya.

BeritaBaik beruntung mendapat kesempatan untuk wawancara dengan Nono seusai penampilannya. Ia mengungkapkan bagaimana kesannya setelah tampil perdana di Ngayogjazz. “Jujur, saya baru pertama kali ke Ngayogjazz, saya cukup kaget lihat suasana dan tidak menyangka kalo di tempat yang begini sepi kalo ngga ada acara, orang pada dateng ke sini dan melewati beberapa rintangan. Betapa sulitnya tadi saya rasakan masuk ke sini, dan ini menjadi satu fenomena yang luar biasa buat pengalaman saya bahwa jazz itu bisa masuk ke mana-mana. Mengenai Ngayogjazz ini saya sempet terbengong-terbengong melihat situasi venue yang ada,” paparnya.

Ia lantas mengenang bagaimana sosok seorang Djaduk Ferianto di matanya. “Sosok Djaduk buat saya, dia seorang yang ulet, yang memperjuangkan, termasuk berjasa besar buat musisi-musisi Indonesia dan terciptanya festival musik jazz di seluruh Indonesia. Kita tidak bisa memungkiri bahwa jasa seorang Djaduk sangat dominan di festival musik jazz tanah air, contohnya Jazz Gunung di Bromo, Loenpia Jazz di Semarang, Ijen Jazz di Banyuwangi, Pamekasan Jazz di Madura, dan lain-lain itu Djaduk semua yang memprakarsai, dan saya terlibat langsung, bertemu dengan beliau, strateginya gimana dia yang ngatur jadwal setiap festival jazz di Indonesia supaya enggak bentrok tanggal dan bulannya segala macem. Terakhir saya ketemu Djaduk di festival Bangka Jazz, di situ saya lihat dia sosok yang bener-bener seniman, dia secara langsung dan tidak langsung memperjuangkan musik jazz di tanah air,” bebernya.

Andreas Zamzammi, salah seorang pengunjung Ngayogjazz memberikan komentarnya setelah nonton pertunjukan yang disuguhkan oleh Mus Mujiono feat. Dexter band. “Setelah 4 kali nonton Ngayogjazz, ini salah satu yang berkesan. Pertama, ini jadi momen sakral untuk mengenang kepergian legenda almarhum Djaduk. Selain itu, akhirnya mencoret deretan teratas wishlist konser, yaitu kesampean nonton live Om Mus. Ragam rupa penampil juga menjadi lebih menarik bahwa jazz menyatukan semua, lalu yang jadi salah satu paling berkesan, munculnya ruang musium jazz atau Messiom Jazz, ini keren parah dan harus ada terus, bahkan tadi aja temanku nyesel enggak sempet masuk museum dan berharap dibuat lagi,” komentarnya.

Ia juga berpendapat bahwa Ngayogjazz merupakan salah satu festival yang epik baginya. “Bisa dibilang ini adalah festival yang sangat epic, karena sinergi dari setiap orang. Bukan hanya orang sih, bahkan makhluk hidup, dan alam semesta yg membuat ini menjadi festival hebat dan berbudaya. Menurutku, festival yang baik bukan dilihat dari berapa banyak orang yang hadir ataupun penampil ternama yang berjibun, tapi sinergi dari semua jiwa yang ada di situ, apalagi festival yang udah ada sangkut pautnya dengan alam atau lingkungan sosial,” sambungnya.