[Artikel yang saya tulis ini pertama kali diterbitkan pada 17 November 2019 di website BeritaBaik.id: https://beritabaik.id/read?editorialSlug=musik&slug=1573989970933-ngayogjazz-2019-jadi-momentum-buat-tricotado-rilis-mini-album]
Yogyakarta – Sabtu (16/11) malam menjadi salah satu hari bersejarah bagi Tricotado. Grup musik asal Jogja yang digawangi oleh Cresensia Naibaho (vokal), Paulus Neo (piano/keyboard), Yabes Kurniawan (bass), Yohanes Sapta Nugraha (gitar), Andra (kendang) dan Yosa (drums) ini akhirnya merilis mini album yang sudah lama mereka rencanakan.
Di hari itu juga, grup musik yang tumbuh dari solidnya pertemanan di Komunitas Jazz Jogja (Jazz Mben Senen) ini berhasil menepati janji kepada para pendengar yang sudah menantikan karya-karya mereka dalam format media rekam sejak satu setengah tahun lalu.
Enggak tanggung-tanggung, Tricotado merilis mini album perdananya lewat sebuah festival musik Ngayogjazz yang tahun ini digelar di Padukuhan Kwagon, Sleman. Hari penting di momen super penting itu menandai langkah pertama mereka ke dunia musik rekam di Indonesia.
Tricotado memulai pertunjukan melalui pembacaan narasi dengan diiringi dentingan piano oleh Paulus Neo. Selanjutnya, Tricatado berbagi rasa dengan membawakan tujuh lagu dalam mini albumnya, yaitu ‘Singgahi Malam’, ‘Rindu Pulang’. ‘Kabut Cinta’, ‘Lencana Pagi’, ‘Bulan Sabit’, ‘Cakrawala’, yang ditutup dengan ‘Tembang Hujan’ yang syahdu.
Di tengah-tengah pertunjukan, mereka juga berbagi rasa kepada para penonton tentang kehilangan sosok Djaduk Ferianto yang sebelum berpulang rupanya sempat memberi wejangan ke Tricotado.
“Sebelum ‘pulang’ Pak Djaduk bilang, ‘band ini harus dibuat wangun (bagus). Itu pesan terakhir beliau dan di sini (Ngayogjazz) adalah langkah pertama kami untuk menjalankan amanat, lalu membawa semangat beliau,” tutur Cresensia.
Hal itu menjadi alasan kenapa mini album ini diberi judul ‘Cakrawala’, sebagai tanda bahwa ini merupakan langkah pertama Tricotado menuju tempat tak berbatas.
Soal artwork, pemaknaan Tricotado lewat mini album perdana mereka ditangkap dengan baik oleh ilustrator Jaka Utama dan Rangga Pratama, desainer grafis yang menggarap artwork atau sampul album fisik.
Para perupa muda ini memvisualkan makna ‘Cakrawala’ dengan seorang anak yang bersiap pergi menuju langit luas. Kesederhanaan ini enggak hanya mampu menangkap judul dan makna keseluruhan dari mini album, tetapi juga memanjakan mata.
“Setiap orang punya perjalanannya masing-masing. Tapi selalu ada titik nol, awal perjalanan itu dimulai,” kata Deasy, manajer dari Tricotado.
Proses pengerjaan mini album ‘Cakrawala’ ini bisa dibilang sangat intim dan hangat, di mana setiap personel membuat lagu yang mereka definisikan sebagai sarana atau tempat berbagi rasa dan cerita masing-masing.
Tiap personel memaparkan sudut pandang masing-masing melalui musik dan lirik. Sejumlah lagu sebenarnya sudah seringkali dibawakan live di banyak panggung dengan respons baik dari pendengar, seperti ‘Cakrawala ‘dan ‘Bulan Sabit’.
Lagu ‘Cakrawala’ yang sering dibawakan dalam setiap penampilan live mereka bisa dibilang ikonik, karena merupakan karya pertama sejak terbentuknya Tricotado yang mengangkat lirik tentang romantisme alam.
Berbeda dengan ‘Bulan Sabit’ dan ‘Lencana Pagi’ yang walaupun kedua lagu itu punya unsur alam dalam judulnya, tetapi lirik kedua lagu itu justru malah menceritakan tentang seseorang. ‘Bulan Sabit’ bercerita tentang kepribadian seorang anak, sedangkan ‘Lencana Pagi’ mengisahkan proses kelahiran seorang anak dengan pengharapan dan doa dari para orang tua.
“Rekamannya sangat singkat sebenarnya, 4-5 bulan saja. Tapi ya, karena kesibukan masing-masing plus mixing mastering dan lain hal, harus menunggu satu setengah tahun,” kenang Cresensia.
Dari mini album ini, Tricotado enggak hanya belajar tentang berbagi rasa dan pandangan, tetapi juga jadi media belajar bagi tiap personel. Swadesta, salah seorang pengunjung Ngayogjazz 2019 juga sempat memberikan kesan pribadinya kepada BeritaBaik tentang acara Ngayogjazz tahun ini secara keseluruhan.
“Tahun ini Ngayogjazz-nya sangat ramai. Orang-orang masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, selain menonton musik, mereka juga berinteraksi dengan warga, entah itu beli makan minum di warung warga atau sekadar ke toilet yang disediakan banyak rumah. Dari sana mulai tercipta obrolan, mungkin inilah legasi Djaduk Ferianto lewat jazz yang bisa mempertemukan produk budaya lalu meleburkannya jadi satu,” tuturnya.
Ia juga berkomentar setelah menonton aksi panggung dari Tricotado di Panggung Blandar Ngayogjazz 2019. “Tricotado ini band yang cukup berani sekaligus eksploratif di album perdana mereka. Bisa bikin lagu dengan sukat yang susah, namun masih enak didengar sama telinga pop. Barangkali yang kudu diperbaiki saat manggung adalah kontrol emosi saat mulai nge-feel sama suasana dan penonton,” pungkasnya.