Arts & Culture / Portfolio / Published Articles · November 1, 2019 0

Ragam Narasi Tersaji di ‘Rimpang Nusantara X Residensi Kelana’

[Artikel yang saya tulis ini pertama kali diterbitkan pada 1 November 2019 di website BeritaBaik.id: https://beritabaik.id/read?editorialSlug=seni&slug=1572581334500-ragam-narasi-tersaji-di-rimpang-nusantara-x-residensi-kelana]

Yogyakarta – Presentasi proyek seni ‘Rimpang Nusantara X Residensi Kelana’ baru saja digelar selama tanggal 17-31 Oktober 2019 di Cemeti Institute for Art and Society, Jl. D.I Panjaitan 41, Yogyakarta. Beberapa seniman yang menyuguhkan karyanya dalam pameran ini adalah Arif Setiawan (Pontianak), Cut Putri Ayasofia (Aceh), Ferial Afiff (Yogyakarta), Ipeh Nur (Yogyakarta), Rahmadiyah Tria Gayathri (Palu), Syamsul Arifin (Madura), Suvi Wahyudianto (Madura), dan Tajriani Thalib (Mandar, Sulawesi Barat).

Saat berkunjung pada hari Kamis (31/10) yang merupakan hari terakhir pameran, BeritaBaik beruntung bisa mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan Rahmadiyah Tria Gayathri, salah satu seniman asal Palu yang menyajikan karya berupa legenda maket area penggaraman di Pantai Talise Palu.

Ia bercerita lebih mendalam tentang latar belakang di balik pembuatan maket tersebut yang ternyata berawal dari kegelisahan dan memori akan pengalamannya sendiri ketika bencana gempa, tsunami dan likuifaksi mengguncang kota Palu pada bulan September tahun 2018.

“Jadi, maket itu tuh aku mengambil peta dari wilayah yang terdampak tsunami Palu. Kebetulan aku berasal dari kota Palu, jadi aku fokus ingin berkarya tentang memori dan pengetahuan tentang mitigasi bencana. Aku ambil satu jalan, satu wilayah yang terdampak, melalui peta Google Maps yang saat ini tuh realitanya tempat itu sudah habis dilalap tsunami,” tutur Rahma.

Ia mencoba merekonstruksi kembali desain perumahan baru di wilayah yang terdampak dengan tambahan arsitektur dan siasat yang sekiranya tepat agar dapat bertahan. Rahma juga bercerita tentang berapa lama waktu yang ia tempuh selama mengerjakan maket tersebut. “Proses pengerjaan maketnya kurang lebih dua mingguan,” katanya sambil tertawa.

Rahma juga mengungkapkan bahwa ini adalah kali pertamanya membuat karya dalam bentuk maket. “Aku baru kali ini bikin maket, sebelumnya belum pernah. Tapi, medium karyaku memang selalu instalasi mixed media, banyak media yang digunakan,” ungkapnya.

Program Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana sendiri menjadi titik temu dari gagasan dua lembaga Cemeti-Institute dan Yayasan Biennale Yogyakarta untuk melihat Indonesia tidak dalam kerangka kota-kota pusat seni, melainkan bergerak dan menyingkap narasi-narasi di titik-titik lain, terutama yang terhubung dengan khatulistiwa. 

Sepanjang tahun ini, lima seniman dari lima daerah asal Aceh, Pontianak, Palu, Mandar, dan Madura saling berjumpa dan berbagi ruang pemikiran bersama melalui serangkaian workshop, residensi, dan program-program lain.

Para seniman tersebut kemudian bertemu dengan seniman lain dari Yogyakarta dan negara-negara lain di Asia Tenggara untuk bersama-sama melintasi dan menilik ulang pengetahuan-pengetahuan tentang khatulistiwa.

Mereka menjadi pejalan selama sebulan, tinggal bersama komunitas setempat, berpindah dari satu kota ke kota lain, dari rumah satu ke rumah lain, dan menggali narasi yang menarik bagi praktik mereka. Pengalaman menjadi sebuah cara memproduksi pengetahuan dan perjalanan, sedangkan perjumpaan menjadi metodologi kerja artistik.

Dalam presentasi kali ini, para seniman memaparkan berbagai narasi, seperti politik tanah, sejarah tersembunyi, politik identitas, konflik-konflik sosial, relasi bentang alam dan pola hidup. Beberapa seniman menemukan bahwa spiritualisme dan mitologi menjadi benang merah yang menarik dalam melihat filsafat hidup dan pengetahuan lokal.

Ketimbang menunjukkan presentasi ini sebagai pameran karya seni, para seniman lebih berorientasi membagi amatan bersama untuk ditempatkan dalam konteks kolektif. Gagasan-gagasan yang kita temui menjadi sebuah kerangka awal untuk proyek jangka panjang atas konsep ‘Rimpang Nusantara’ yang akan berlangsung tiga tahun mendatang.

Foto: Hanni Prameswari