[Artikel yang saya tulis ini pertama kali diterbitkan pada 24 November 2019 di website BeritaBaik.id: https://beritabaik.id/read?editorialSlug=film&slug=1574587021278-the-science-of-fictions-raih-penghargaan-di-jaff-2019]
Yogyakarta – Setelah berjalan-jalan ke lebih dari 15 festival film internasional, ‘The Science of Fictions’ garapan sutradara Yosep Anggi Noen ditayangkan untuk pertama kalinya di Indonesia, tepatnya di ajang Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 14 ‘Revival’. Pemutaran film ‘The Science of Fictions’ di gelaran JAFF pun terbilang sukses mendapat animo masyarakat yang sangat tinggi, terbukti dari penuhnya studio yang dipehuhi sekitar 293 penonton.
‘The Science of Fictions’ berhasil meraih penghargaan Silver Hanoman Award, penghargaan ini diberikan pada saat closing ceremony JAFF 2019, Sabtu malam (23/11/2019). Penghargaan ini diberikan kepada film Asia terbaik kedua dari program Asian Feature Competition.
Selaras dengan tujuan program Asian Feature dan semakin berkembangnya film dari berbagai penjuru Asia Pasifik, maka penonton pun harus sadar bahwa kedekatan dan relevansi film dengan kehidupan orang Asia sendiri sangatlah penting. Enggak hanya sebagai hiburan, tapi film-film ini juga dapat memberikan irisan budaya dan pengetahuan lain untuk memahami Asia Pasifik melalui film itu sendiri. Salah satunya yakni tentang bagaimana kekuasaan dapat mengaburkan fakta dan sejarah berevolusi menjadi cerita fiksi yang disajikan oleh film ‘The Science of Fictions’.
Film berdurasi 106 menit ini dimulai dengan latar waktu dan tempat di Indonesia tahun 1960-an. Berkisah tentang Siman (Gunawan Maryanto), seorang pemuda desa yang enggak sengaja melihat beberapa orang asing sedang syuting pada malam hari di sebuah area yang tak berpenghuni. Siman melihat sosok yang berakting sebagai astronot sedang mendarat di bulan, lengkap dengan kostum, pesawat luar angkasa dan tanah bulan yang ternyata hanyalah rekayasa.
Naas, setelah itu Siman ketahuan dan ditangkap oleh para penjaga, bahkan lidahnya dipotong agar ia tidak bisa mengungkap kejadian “pembohongan publik” yang sudah ia lihat itu kepada orang lain. Sejak saat itu, hidup Siman jadi merana, ia jadi bisu, sebatang kara, hingga pontang-panting bekerja. Semua itu Siman jalani dengan gerakan slow-motion, layaknya seorang astronot yang sedang berakting mendarat di bulan. Banyak orang yang menganggapnya kurang waras, ada juga yang memanfaatkannya sebagai maskot atau penarik perhatian di berbagai acara, dari acara jathilan sampai pernikahan. Ia menjalani semua itu demi bertahan hidup dan membeli berbagai barang untuk tujuan tertentu.
Film ini menggambarkan bagaimana manusia jadi korban dari masa lalu yang kejam dan masa kini yang eksploitatif. Tokoh Siman adalah satu cerminan dari korban yang masih trauma akan luka pada masa lalu. Pada sesi Q&A, Yosep Anggi Noen selaku sutradara menjelaskan bahwa film ini berbicara tentang banyak hal, seperti teknologi, trauma dan memori.
“Peristiwa dan adegan dalam film ini tidak diupayakan menjadi terikat dengan alur kronologis, memori tidak ada kaitannya dengan kronologi karena memori terkait dengan emosi. Memori sangat dekat dengan kehidupan kita karena ia bisa terbentuk di mana saja dan kapan saja. Film ini bercerita tentang kebangkitan-kebangkitan memori yang sangat acak,” terangnya.
Sementara itu, Gunawan Maryanto pun menceritakan kepada BeritaBaik bagaimana ia melakoni tantangan demi tantangan yang harus dihadapi saat memerankan tokoh Siman yang tidak berdialog sama sekali dalam film ‘The Science of Fictions’ ini. “Ruang bermain dalam film itu sangat menantang ya, karena aku sama sekali enggak ada dialog, kemudian aku harus menggunakan bahasa tubuh sepanjang film itu. Bagaimana kemudian seluruh narasi, seluruh teks yang ada, aku bahasakan melalui bahasa yang lain, yaitu bahasa tubuh, kupikir itu yang paling menantang dari film itu,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga menggambarkan tentang atmosfer saat proses syuting film berlangsung. Ia mengaku sangat senang bisa bekerjasama dengan Anggi dan menikmati segala prosesnya. “Kalau dari hari ke hari, sangat menyenangkan suasana syutingnya. Aku suka bekerja dengan Anggi juga, karena dia cukup rileks di dalam proses kerjanya, baik di film yang dulu (‘Istirahatlah Kata-Kata’) mau pun yang ini. Ya kalau bahasa kami, syuting sehat, tidak berlebihan, tidak melebihi jam-jam tertentu, cukup enak. Dari hari ke hari target scene-nya enggak terlalu banyak, jadi bisa lebih fokus di situ,” bebernya.
‘The Science of Fictions’ adalah upaya untuk merayakan setengah abad sebuah sejarah. Bagaimana sebuah berita yang belum sepenuhnya benar memberi dampak yang begitu besar pada masyarakat. Pemutaran film ini di berbagai festival juga menandai 50 tahun usia berita pendaratan manusia pertama di bulan. Walau berita palsu atau hoax nampak jadi fenomena yang sedang marak-maraknya di masa kini, tetapi sebenarnya “berita palsu” itu sudah berdampak sangat besar pada masyarakat sejak lebih dari setengah abad yang lalu.
TemanBaik, ‘The Science of Fictions’ juga akan ditayangkan di bioskop pada tahun 2020 loh. Jadi, tunggu saja kehadirannya di bioskop-bioskop terdekat di kota kalian ya!
Foto: Hanni Prameswari